PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL
A.
Pengertian Perkembangan Sosial dan Moral
Perkembangan merupakan suatu proses perubahan ke
arah yang lebih maju, lebih dewasa.
Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari
pertumbuhan. Perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitatif yang
mengacu pada fungsi organ-oragan fisik. Perkembangan akan terus berlanjut
hingga manusia mengakhiri hayatnya. Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi
sampai manusia mencapai kematangan fisik (maturation). Perkembangan merupakan
suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni
pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya.
Menurut KBBI 1999, perkembangan adalah perihal berkembang,
Selanjutnya kata perkembangan berarti mekar, terbuka atau membentang; menjadi
besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal
kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Sosial
adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Menurul Lewis, Sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan dan
ditetapkan dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahannya. Sedangkan Moral adalah suatu kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik.
Perkembangan
sosial dan moral (social and moral development), yakni poses perkembangan mental yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara anak dalam berkomunikasi dengan objek atau orang lain,
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Perkembangan
sosial hampir dapat dipastikan sama dengan perkembangan moral, karena perilaku
moral pada umumnya merupakan unsur yang mendasari tingkah laku sosial. Artinya,
seorang siswa akan dapat berperilaku sosial secara tepat jika ia mengetahui
norma perilaku moral yang sesuai dengan situasi sosial tersebut.
Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari
perilaku moral, sedangkan yang gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku
tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan harapan
masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara, kebiasaan atau
adat-istiadat. Perilaku amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan
masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat.
Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan
masyarakat atau bentuk protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).
B. Tokoh Teori Perkembangan
Kepribadian
1. Sigmund Freud
Freud
adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangan
kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan masa awal pada anak
dalam membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar
kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian
sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakan elborasi dari struktur
dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak secara langsung. Dia
mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain dengan
mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.
Freud
membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infatil (0 – 5
tahun), tahap laten (5 – 12 than) dan tahap genital (> 12 tahun). Tahap
infatil yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi 3
fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian
ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang terkait dengan perkembangan
bilogis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan
insting seks berarti perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis
menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksual (arogenus
zone). Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan bagian tubuh
daerah erogen-yang
menjadi
kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami
represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan
keterampilan. Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts
yang membangunkan impuls seksual dari represinya untuk berkembang mencapai
kemasakan. Pada umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.
2. Carl Gustav Jung
Perkembangan
kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan
dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu
yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh
tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara
karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau
membuat rencana karena masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip
purposif memubat orang mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu yang
membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat diambil sisi
positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi dijadikan
pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar lebih baik
dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus memiliki
angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada tujuan
yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap
perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi
3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran masaih kacau pada usia 0-6 tahun,
tahap monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir
verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat
berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.
b.
Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara
fisik dan psikis dari orang tuanya.
c.
Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri,
biasanya sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki
pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan sosial.
d.
Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara
tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam (Anonim, 2010).
3. Erik
H. Erikson
Teori
Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua,
menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap
perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian
klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan
dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui
teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai
perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson
dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Bagi Erikson, dinamika
kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar
biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan
jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai
dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari
teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan
secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam
setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic
Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan
persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip
epigenetik. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian
kata yaitu:
(1) Pada
dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian
dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu
dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat,
pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di
dalam tahap-tahap yang ada.
C. Tokoh Teori Perkembangan Sosial dan
Moral
Terdapat
aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan
sosial. Diantara yang paling menonjol dan yang layak dijadikan rujukan ialah:
aliran teori Cognitive Psychologi dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence
Kohlberg dan aliran teori Social Lerning dengan tokoh utama Albert Bandura dan
R.H. Walters. Tokoh-tokoh ini menghubungkan setiap perkembangan sosial anak
dengan perilaku moral, yakni perilaku baik dan
buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
1. Jean
Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget
(dalam Slavin, 2006:51) mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan
kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif
itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang
berkaitan dengan masalah sosial.
Ada dua metode yang di aplikasikan Piaget untuk melakukan studi mengenai
perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:
· Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan
menanyai mereka tentang aturan yang mereka ikuti.
· Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan
salah dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang teridiri
atas anak dan remaja) untuk kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral
mereka sendiri.
Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak
di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan,
sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah
mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya
dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu
mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut
dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Berdasarkan data hasil studynya,
piaget menemukan dua tahap perkembangan moral anak dan remaja yang antara tahap
pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni usia 7-10 tahun.
Seperti yang terlihat pada tabel 1, Piaget selalu mengaitkan perkembangan moral
dengan tahap perkembangan kognitif.
Tabel 1
Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Versi Piaget.
Realisme moral
(dalam tahap perkembangan kognitif praoperasional)
|
1. Memusatkan pada akibat-akibat perbuatan
2. Aturan-aturan dipandang tak berubah
3. Hukkuman atas pelanggaran dipandang bersifat
otomatis
|
Masa Transisi
(dalam tahap perkembangan kognitif
konkret-operasional)
|
Perubahan secara bertahap ke arah pemilikan moral
tahap kedua
|
Otonomi, realisme, dan resiprositas moral
(dalam tahap perkembangan kognitiff
formal-operasional)
|
1. Mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku moral
2. Menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan
tradisi yang dapat berubah
|
2. Lawrence
Kohlberg
Menurut
teori, Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang
perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang
baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat
obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal
dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $
200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang
yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000
atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya
sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah
atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata
”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.”
Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi
istrinya.”
Cerita ini
adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang
diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat
perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci
untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah
internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan
secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Tabel 2
Teori Enam Tahap Perkembangan Moral
versi Kohlberg.
Moralitas Prakonvensional
(usia 4-10 tahun)
Tahap 1:
memperhatikan ketaatan dan hukum
Tahap 2:
memperhatikan pemuasan kebutuhan
|
1.
Anak
menentukan keburukan berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut
2.
Perilaku
baik dihubungkan dengan penghindraan diri dari hukuman.
Perilaku baik dihubungkan
dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang
lain.
|
Moralitas Kovensional
(usia 10-13 tahun)
Tahap 3: memperhatikan citra
“anak baik”
Tahap 4: memperhatikan hukum
dan peraturan
|
1.
Anak
dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh
persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman
2.
Perbuatan
baik dan buruk dinilai berdasarkan
tujuannya. Jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
1.
Anak
dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan peraturan
2.
Hukum
harus ditaati oleh semua.
|
Moralitas Pascakonvensional
(usia 13 tahun ke atas)
Tahap 5: memperhatikan hak
perseorangan
Tahap 6: memperhatikan prinsip-prinsip etika
|
1.
Remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai aturan dan
patokan sosial
2.
Perubahan
hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang
baik
3.
Pelanggatan
hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu
a.
Keputusan
mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral
pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain
b.
Keyakinan
terhadap moral pribadi nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu
berlawanan dengan hukum yang dibuat
untuk mengekalkan aturan sosial.
|
Tiga
tingkatan besar perkembangan sosial dan moral menurut Kohlberg adalah sebagai
berikut:
·
Penalaran Prakonvensional, yaitu ketika
manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana ( usia 4-10 tahun) yang belum
menanggap moral sebagai kesepakatan tradisional. Pada
tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral ,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.
Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku
yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
·
Penalaran
Konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Penalaran
Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana
seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal) tertentu, tetapi mereka
tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
· Penalaran
Pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana
dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar
kesepakatan sosial. Penalaran Pascakonvensional merupakan suatu
pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan
tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal
tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian
memutuskan berdasarkan suatu kode.
3. Albert
Bandura
Teori pembelajaran sosial
merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional
(behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura
tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, bandura
memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R bond), melainkan juga merupakan reaksi yang timbul akibat interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Menurut
Bandura seperti yang dikutip Barlow (1985), sebagian besar yang dipelajari
manusia jadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial
dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan
imitation (peniruan) .
a. Conditioning,
Contohnya, seorang pelajar
melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan
perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya.
Kejadian ini merupakan
contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious
reinforcement.
Berhubungan
dengan hal tersebut, komentar yang disampaikan orang tua atau guru ketika
mengajarkan siswa merupakan faktor penting untuk proses internalisasi atau
penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral).
Reaksi-reaksi siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespon sesuai
dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ini, ia
juga menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf
sebaik-baiknya agar terhindar dari sanksi.
b. Imitation,
contohnya mula-mula seorang siswa mengamati gurunya yang sedang melakukan
sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu perbuatan
menjawab salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya akan diserap
oleh memori siswa. Cepat atau lambat, siswa tersebut mampu meniru secara baik
apa yang dillakukan oleh sang guru.
Kemampuan
siswa dalam meniru apa yang diamati adalah bergantung pada ketajaman
persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan
salahnya perilaku yang ia tiru tadi. Selain itu, tingkat kualitas imajinasi
juga bergantung pada siapa yang menjadi model yang ditiru olehnya.
Menurut Bandura (1982), penguasaan kemampuan dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses
perhatian, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh
unsur-unsur yang berdasarkan dari diri pelajar sendiri yaitu sense of self
Efficacy dan self regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan
pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti
yang berlaku. Self regulatory pula merujuk kepada:
·
Struktur
kognitif yang memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.
·
Sub proses
kognitif yang dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.
Dalam pembelajaran self
-regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation dan merupakan
dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi atau sebaliknya. Menurut
Bandura, untuk berhasil, pelajar harus mendapatkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat. Seterusnya mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement
bagi pelajar.
Unsur utama dalam peniruan adalah sebagai berikut:
1.
Attention, pemusatan perhatian yang diberikan kepada
model yang ditirukan.
2.
Retention, usaha mengingat apa yang telah dilakukan
oleh model.
3. Reproduction,
usaha mewujudkan atau menunjukkan kebolehan berdasarkan apa yang telah
dipahami.
4. Motivasi,
pengerak individu dalam melakukan sesuatu.
Terdapat
beberapa macam jenis peniruan yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Peniruan
langsung, yaitu peniruan dengan
pemerhatian langsung. Contohnya, meniru penyanyi yang disukai.
2. Peniruan
tidak langsung, yaitu peniruan dengan mengimajinasikan. Contohnya, meniru tokoh
dalam buku cerita.
3. Peniruan
gabungan, yaitu peniruan dengan menggabungkan antara pemerhatian secara
langsung dan imajnasi. Contohnya siswa meniru sang guru yang sedang melukis dan
menghayal ‘mengingat’ tentang cara-cara mewarnai yang ada dibuku bacaannya.
Tabel 3
Perbadingan antara Teori Perkembangan Sosial dan
Moral Siswa
versi A. Bandura dengan dengan versi L. Kohlberg.
A.
Bandura
(Teori
Belajar Sosial)
|
L.
Kohlberg
(Teori
psi. Kognitif)
|
Perilaku
bergantung pada orang lain dan kondisi stimulus
|
Pemikiran
sebagai perilaku kualitatif dalam perkembangan
|
2.
Mekanisme
perolehan moralitas
|
Hasil
dari conditioning dan modeling
|
Berlangsung
dalam tahap-tahap yang teratur dan berkaitan dengan perkembangan kognitif
moralitas
|
Belajar
berlangsung sepanjang hayat, dan ada perbedaan usia perolehan
|
Proses
belajar berkesinambungan sampai masa dewasa, dan juga dapat ditetapkan ddalam
usia-usia tertentu
|
Moralitas
bersifat nisbi secara kultural
|
Nilai-nilai
moral dalam taapan perrkembangan bersifat universal
|
Model-model
yang sangat berpengaruh, orang-orang dewasa dan teman-teman yang dapat
menyalurkan ganjaran dan hukuman
|
Orang-orang
yang berada pada tahap perkembangan yang lebih tinggi dan memiliki pengaruh
yang sangat besar
|
Guru
harus menjadi teladan yang baik dan mengajar setiap perilaku siswaa yang
memadai
|
Guru
harus berussaha merangsang siswa agar mencapai tahap perkembangan
selanjutnya, dan menjelaskan ciri-ciri perilaku moral pada tahap tersebut
|
D. Tahap-tahap dalam Perkembangan
Psikologi Sosial
Teori
perkembangan psikososial oleh Erikson, adalah salah satu teori kepribadian
terbaik dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut, teori Erikson membawa
aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Dalam
bukunya “Childhood and Society” (1963), Erikson membuat sebuah bagan untuk
mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “Delapan Tahap Perkembangan
Manusia”.
Definisi
lain dari perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri
terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi
suatu kesatuan dan saling berkomunikasi bekerja sama.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui
oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas.
Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat
sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan
dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu
akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu
akan tampil dengan perasaan tidak selaras. (Rifai, 2009).
Tahap 1. Trust vs Mistrust
(percaya vs tidak percaya)
·
Terjadi pada
usia 0 s/d 18 bulan
·
Tingkat pertama
teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan
paling dasar dalam hidup. Oleh karena itu perkembangan yang terjadi pada bayi sangat bergantung pada kualitas pengasuhannya oleh orang tua atau
pengasuh, misalnya perkembangan dalam hal
kepercayaan.
·
Jika anak
berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia.
Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak,
dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan
dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan
bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy)
VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
·
Terjadi pada
usia 18 bulan s/d 3 tahun.
·
Tingkat ke dua
dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal
kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
Seperti Freud,
Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali
dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson
percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa
kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian. Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih
yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri,
sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap
diri sendiri.
Tahap 3.
Inisiatif (Initiative) vs rasa
bersalah (Guilt)s
·
Terjadi pada
usia 3 s/d 5 tahun.
·
Selama masa
usia prasekolah, anak mulai
menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan
interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial
yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
Anak yang
berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain.
Adanya peningkatan
rasa tanggung jawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah,
perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak
menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat
merasa sangat cemas. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat
digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs
rasa rendah diri)
·
Terjadi pada
usia 6 s/d pubertas.
·
Melalui
interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
·
Anak yang
didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan
percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
·
Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua,
guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
·
Prakarsa yang dicapai
sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan
pengalaman-pengalaman baru.
·
Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual.
·
Permasalahan
yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan
tidak berkompeten dan tidak produktif.
·
Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab
khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan
identitas)
·
Terjadi pada
masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun.
·
Selama remaja
ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya.
·
Pada saat ini anak dihadapkan
dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju tahap
kedewasaan). Anak juga dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang dewasa
–pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
·
Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan
cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan,
identitas positif akan dicapai.
Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika
remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan
positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai
maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya
akan muncul dalam tahap ini.
·
Bagi mereka
yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa
tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation
(keintiman vs keterkucilan)
·
Terjadi selama
masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
·
Erikson percaya
tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit
dan aman.
·
Erikson percaya
bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang
intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan
diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan
lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs
Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
·
Terjadi selama
masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
·
Selama masa
ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga. Mereka yang
berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap
dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak
terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair
(integritas vs putus asa)
·
Tahap ini berhubungan dengan masa dewasa
akhir (60an tahun).
· Orang
tua merenungi kembali hidupnya, memikirkan hal-hal yang telah mereka lakukan
(masa lalu).
Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya
percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa.
Mereka yang
berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami. Individu ini
akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
E.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
proses
perkembangan individu terjadi di tiga lingkungan yang sama, yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan
keluarga, anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan
dasar emonsional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi
dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Proses sosialisasi ini turut mempenggaruhi
perkembangan sosial dan gaya hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam lingkungan
sekolah, anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang
datang dari berbagai keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan maysarakat, anak dihadapkan
dengan berrbagai situasi dan masalah kemasyarakatan.
1. Lingkungan
keluaga
Seorang
anak membutuhkan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan
menyatakan diri. Perasaan aman bukan hanya aman secara material tapi juga
mental, yang artinya orang tua harus benar-benar memperhatikan kebutuhan anak
baik materi maupun mental. Orang tua merupakan contoh bagi si anak. Perilaku
seorang anak sangatlah terpengaruh bagaimana orang tua mendidiknya. Seperti
yang dikatakan oleh Rabiah Tanthawie seorang psikiater RS. Dadi Makasar dikutip
oleh Suparman S
“Jika
anak hidup dengan kritikan, ia belajar melawan. Jika anak hidup dengan
hostilitas (perrmusuhan), ia belajar berkelahi. Jika anak hidup dengan ejekan,
ia belajar merasa malu. Jika anak hidup dengan dipermalukan, ia belajar merasa
bersalah. Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar bersabar. Jika anak
hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak hidup dengan pujian,
ia belajar menghargai. Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar adil. Jika
anak hidup dengan rasa aman, ia mbelajar mempercayai. Jika anak hidup dengan
persetujuan, ia belajar menyukai diri sendiri. Jika anak hidup dengan
penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan kasih sayang di dunia.”
Suatu
iklim keluarga yang kondusif sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan sosial
seorang anak, termasuk remaja yang
sedang mencari jati diri. Adapun iklim keluarga yang kondisif tersebut
mengandung tiga unsur sebagai berikut:
a. Karakteristik
khas internal keluarga yang berbeda dengan keluaga lainnya.
b. Karakteristik
khas yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga.
c. Unsur
kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap dan harapan individu dalam
keluarga tersebut.
Harmonis
atau tidaknya, intensif atau tidaknya suatu interaksi dalam keluarga sesama
anggotanya akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada dalam keluarga
tersebut. Geder (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi
antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan kprelat yang potensial
menjadi penghambat perkembangan sosial remaja.
2. Lingkungan
sekolah
Sekolah merupakan lingkungan yang lebih luas daripada
suatu keluarga dan merupakan suatu yang menjadi tantangan bahkan menimbulkan
kecemasan bagi seorang anak. Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat
remaja hidup dalam kesehariannya, jadi sekolah juga memiliki potensi memudahkan
atau menghambat perkembangan hubungan sosial temaja. Iklim sekolah yang kurang
positif tentu akan menghambat perkembangan hubungan sosial remaja Iklim
kehidupan sekolah yang konduksif dapat terlhat dari interaksi antara guru
dengan siswa siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos keahlian guru
yang ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat menjadi model bagi siswa yang tumbuh
remaja.
Ada
beberapa tahapan dari proses penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh seorang
anak di lingkungan sekolah, yaitu anak dituntut untuk tidak merugikan orang
lain serta menghargai dan menghormati hak orang lain, menaati peraturan dan
menyesuaikan diri dengan norma yang
berlaku, melakukan interaksi berdasarkan asas saling memberi dan menerima serta
seorang anak harus berusaha untuk memahami orang lain.
3. Lingkungan
masyarakat
Masyarakat
memiliki sifat tidak konsisten dalam bersikap, terhadap remaja khususnya. Di
satu sisi para remaja dianggap sudah
beranjak dewasa, tetapi kenyataannya disisi lain mereka tidak diberikan
kesempatan atau peran penuh sebagaimana orang yang sudah dewasa. Situasi
seperti ini membuat para remaja jengkel dan merasa kecewa dan hal ini
menyebabkan terhambatnya perkembangan sosial remaja.
Remaja merupakan
seorang yang sedang mencari jati diri, maka dari itu faktor keteladanan dan kekonsistenan sistem
nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk
perkembangan sosial remaja. Soetjipto Wirosardjono (1991) mengatakan bahwa
bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan hasil adaptasi dari
pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi
melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang
baik dengan berbagai dalih, yang sah maupun yang tak terelakkan. Hal ini
sangatlah penting untuk diperhatikan, apalagi remaja senantiasa selalu ingin
tahu dan memiliki rasa penasaran yang mendalam dengan trend yang berkembang
dalam masyarakat agar mereka merasa dipandang trendy