Cari Blog Ini

Selasa, 29 Maret 2016

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL


A.  Pengertian Perkembangan Sosial dan Moral

Perkembangan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih maju, lebih dewasa. Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari pertumbuhan. Perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitatif yang mengacu pada fungsi organ-oragan fisik. Perkembangan akan terus berlanjut hingga manusia mengakhiri hayatnya. Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik (maturation). Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya.

Menurut KBBI 1999, perkembangan adalah perihal berkembang, Selanjutnya kata perkembangan berarti mekar, terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya[1].

Sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Menurul Lewis, Sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan dan ditetapkan dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahannya. Sedangkan Moral adalah suatu kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik.

Perkembangan sosial dan moral (social and moral development), yakni poses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak dalam berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok[2]. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan sama dengan perkembangan moral, karena perilaku moral pada umumnya merupakan unsur yang mendasari tingkah laku sosial. Artinya, seorang siswa akan dapat berperilaku sosial secara tepat jika ia mengetahui norma perilaku moral yang sesuai dengan situasi sosial tersebut.

Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara, kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat. Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).

B.  Tokoh Teori Perkembangan Kepribadian

1.    Sigmund Freud

Freud adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangan kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan masa awal pada anak dalam membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakan elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak secara langsung. Dia mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.

Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infatil (0 – 5 tahun), tahap laten (5 – 12 than) dan tahap genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksual (arogenus zone). Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan bagian tubuh daerah erogen-yang

menjadi kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan. Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan impuls seksual dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.

2.    Carl Gustav Jung

Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa mendatang.

Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.         Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran masaih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.

b.        Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya.

c.         Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan sosial.

d.        Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam (Anonim, 2010).

3.    Erik H. Erikson

Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.

Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.

Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.

Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu:

(1)   Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.

(2)   Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di dalam tahap-tahap yang ada.

C.  Tokoh Teori Perkembangan Sosial dan Moral

Terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan sosial. Diantara yang paling menonjol dan yang layak dijadikan rujukan ialah: aliran teori Cognitive Psychologi dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg dan aliran teori Social Lerning dengan tokoh utama Albert Bandura dan R.H. Walters. Tokoh-tokoh ini menghubungkan setiap perkembangan sosial anak dengan perilaku moral, yakni perilaku baik dan  buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

1.    Jean Piaget

Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial.

Ada dua metode yang di aplikasikan Piaget untuk melakukan studi mengenai perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:

· Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka tentang aturan yang mereka ikuti.

· Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang teridiri atas anak dan remaja) untuk kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri.

Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak  mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.

Berdasarkan data hasil studynya, piaget menemukan dua tahap perkembangan moral anak dan remaja yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni usia 7-10 tahun. Seperti yang terlihat pada tabel 1, Piaget selalu mengaitkan perkembangan moral dengan tahap perkembangan kognitif.

Tabel 1

Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Versi Piaget[3].

Usia anak

Tahap Perkembangan

Ciri Khas

4 – 7 tahun

Realisme moral

(dalam tahap perkembangan kognitif praoperasional)

1.  Memusatkan pada akibat-akibat perbuatan

2.  Aturan-aturan dipandang tak berubah

3.  Hukkuman atas pelanggaran dipandang bersifat otomatis

7 – 10 tahun

Masa Transisi

(dalam tahap perkembangan kognitif konkret-operasional)

Perubahan secara bertahap ke arah pemilikan moral tahap kedua

11 tahun ke atas

Otonomi, realisme, dan resiprositas moral

(dalam tahap perkembangan kognitiff formal-operasional)

1.  Mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku moral

2.  Menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi yang dapat berubah

2.    Lawrence Kohlberg

Menurut teori, Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:

” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”

Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.

Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

Tabel 2

Teori Enam Tahap Perkembangan Moral versi Kohlberg[4].

Tingkat

Tahap

Konsep Moral

Tingkat 1

Moralitas Prakonvensional

(usia 4-10 tahun)

Tahap 1: memperhatikan ketaatan dan hukum

Tahap 2: memperhatikan pemuasan kebutuhan

1.    Anak menentukan keburukan berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut

2.    Perilaku baik dihubungkan dengan penghindraan diri dari hukuman.

Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri  tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Tingkat II

Moralitas Kovensional

(usia 10-13 tahun)

Tahap 3: memperhatikan citra “anak baik”

Tahap 4: memperhatikan hukum dan peraturan

1.    Anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman

2.    Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan  tujuannya. Jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.

1.    Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan peraturan

2.    Hukum harus ditaati oleh semua.

Tingkat III

Moralitas Pascakonvensional

(usia 13 tahun ke atas)

Tahap 5: memperhatikan hak perseorangan

Tahap 6: memperhatikan  prinsip-prinsip etika

1.    Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai aturan dan patokan sosial

2.    Perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang baik

3.    Pelanggatan hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu

a.     Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan  umum dan kepentingan orang lain

b.     Keyakinan terhadap moral pribadi nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan  dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.

Tiga tingkatan besar perkembangan sosial dan moral menurut Kohlberg adalah sebagai berikut:

·     Penalaran Prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana ( usia 4-10 tahun) yang belum menanggap moral sebagai kesepakatan tradisional. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral , penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.

·     Penalaran Konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.  Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

·      Penalaran Pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan sosial. Penalaran Pascakonvensional merupakan suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.

3.    Albert Bandura

Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura.  Bandura tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R bond), melainkan juga merupakan reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.

Menurut Bandura seperti yang dikutip Barlow (1985), sebagian besar yang dipelajari manusia jadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan) [5].

a.    Conditioning, Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.

Berhubungan dengan hal tersebut, komentar yang disampaikan orang tua atau guru ketika mengajarkan siswa merupakan faktor penting untuk proses internalisasi atau penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral). Reaksi-reaksi siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah  hasil dari adanya pembiasaan merespon sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ini, ia juga menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf sebaik-baiknya agar terhindar dari sanksi.

b.    Imitation, contohnya mula-mula seorang siswa mengamati gurunya yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya akan diserap oleh memori siswa. Cepat atau lambat, siswa tersebut mampu meniru secara baik apa yang dillakukan oleh sang guru.

Kemampuan siswa dalam meniru apa yang diamati adalah bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru tadi. Selain itu, tingkat kualitas imajinasi juga bergantung pada siapa yang menjadi model yang ditiru olehnya.

Menurut Bandura (1982), penguasaan kemampuan dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berdasarkan dari diri pelajar sendiri yaitu sense of self Efficacy dan self regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. Self regulatory pula merujuk kepada:

·      Struktur kognitif yang memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.

·      Sub proses kognitif yang dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.

Dalam pembelajaran self -regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi atau sebaliknya. Menurut Bandura, untuk berhasil, pelajar harus mendapatkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat. Seterusnya mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pelajar.

Unsur utama dalam peniruan adalah sebagai berikut:

1.    Attention, pemusatan perhatian yang diberikan kepada model yang ditirukan.

2.    Retention, usaha mengingat apa yang telah dilakukan oleh model.

3.    Reproduction, usaha mewujudkan atau menunjukkan kebolehan berdasarkan apa yang telah dipahami.

4.    Motivasi, pengerak individu dalam melakukan sesuatu.

Terdapat beberapa macam jenis peniruan yang dapat dilakukan, antara lain:

1.    Peniruan langsung, yaitu peniruan  dengan pemerhatian langsung. Contohnya, meniru penyanyi yang disukai.

2.    Peniruan tidak langsung, yaitu peniruan dengan mengimajinasikan. Contohnya, meniru tokoh dalam buku cerita.

3.    Peniruan gabungan, yaitu peniruan dengan menggabungkan antara pemerhatian secara langsung dan imajnasi. Contohnya siswa meniru sang guru yang sedang melukis dan menghayal ‘mengingat’ tentang cara-cara mewarnai yang ada dibuku bacaannya.

Tabel 3

Perbadingan antara Teori Perkembangan Sosial dan Moral Siswa

versi A. Bandura dengan dengan versi L. Kohlberg[6].

Aspek

A. Bandura

(Teori Belajar Sosial)

L. Kohlberg

(Teori psi. Kognitif)

1.         Tekanan dasar

Perilaku bergantung pada orang lain dan kondisi stimulus

Pemikiran sebagai perilaku kualitatif dalam perkembangan

2.         Mekanisme perolehan moralitas

Hasil dari conditioning dan modeling

Berlangsung dalam tahap-tahap yang teratur dan berkaitan dengan perkembangan kognitif moralitas

3.          Usia perolehan

Belajar berlangsung sepanjang hayat, dan ada perbedaan usia perolehan

Proses belajar berkesinambungan sampai masa dewasa, dan juga dapat ditetapkan ddalam usia-usia tertentu

4.          Kenisbian kebudayaan

Moralitas bersifat nisbi secara kultural

Nilai-nilai moral dalam taapan perrkembangan bersifat universal

5.          Pelaku sosialisasi

Model-model yang sangat berpengaruh, orang-orang dewasa dan teman-teman yang dapat menyalurkan ganjaran dan hukuman

Orang-orang yang berada pada tahap perkembangan yang lebih tinggi dan memiliki pengaruh yang sangat besar

6.         Implikasi pendidikan

Guru harus menjadi teladan yang baik dan mengajar setiap perilaku siswaa yang memadai

Guru harus berussaha merangsang siswa agar mencapai tahap perkembangan selanjutnya, dan menjelaskan ciri-ciri perilaku moral pada tahap tersebut

D.  Tahap-tahap dalam Perkembangan Psikologi Sosial

Teori perkembangan psikososial oleh Erikson, adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut, teori Erikson membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.

Dalam bukunya “Childhood and Society” (1963), Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “Delapan Tahap Perkembangan Manusia”.

Definisi lain dari perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi bekerja sama[7].

Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras. (Rifai, 2009).

Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)

·      Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan

·      Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. Oleh karena itu perkembangan yang terjadi pada bayi sangat bergantung pada kualitas pengasuhannya oleh orang tua atau pengasuh, misalnya perkembangan dalam hal kepercayaan.

·      Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.

Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)

·      Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun.

·      Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.

Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian. Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.

Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)s

·      Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.

·      Selama masa usia prasekolah, anak mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.

Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.

Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)

·      Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.

·      Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.

·      Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.

·       Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.

·      Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.

·      Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.

·      Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.

·      Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.

Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)

·      Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun.

·      Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya.

·      Pada saat ini anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Anak juga dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.

·      Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.

Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.

·      Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.

Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)

·      Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)

·      Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.

·      Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.

Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)

·      Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).

·      Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.

Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)

·      Tahap ini berhubungan dengan masa dewasa akhir (60an tahun).

·      Orang tua merenungi kembali hidupnya, memikirkan hal-hal yang telah mereka lakukan (masa lalu)[8]. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa.

Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

E.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

proses perkembangan individu terjadi di tiga lingkungan yang sama, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emonsional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Proses sosialisasi ini turut mempenggaruhi perkembangan sosial dan gaya hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam lingkungan sekolah, anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda.  Dalam lingkungan maysarakat, anak dihadapkan dengan berrbagai situasi dan masalah kemasyarakatan.[9]

1.    Lingkungan keluaga

Seorang anak membutuhkan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan menyatakan diri. Perasaan aman bukan hanya aman secara material tapi juga mental, yang artinya orang tua harus benar-benar memperhatikan kebutuhan anak baik materi maupun mental. Orang tua merupakan contoh bagi si anak. Perilaku seorang anak sangatlah terpengaruh bagaimana orang tua mendidiknya. Seperti yang dikatakan oleh Rabiah Tanthawie seorang psikiater RS. Dadi Makasar dikutip oleh Suparman S

“Jika anak hidup dengan kritikan, ia belajar melawan. Jika anak hidup dengan hostilitas (perrmusuhan), ia belajar berkelahi. Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar merasa malu. Jika anak hidup dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar bersabar. Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar adil. Jika anak hidup dengan rasa aman, ia mbelajar mempercayai. Jika anak hidup dengan persetujuan, ia belajar menyukai diri sendiri. Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan kasih sayang di dunia.”

Suatu iklim keluarga yang kondusif sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan sosial seorang anak, termasuk remaja yang  sedang mencari jati diri. Adapun iklim keluarga yang kondisif tersebut mengandung tiga unsur sebagai berikut:

a.    Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dengan keluaga lainnya.

b.    Karakteristik khas yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga.

c.    Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap dan harapan individu dalam keluarga tersebut.

Harmonis atau tidaknya, intensif atau tidaknya suatu interaksi dalam keluarga sesama anggotanya akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada dalam keluarga tersebut. Geder (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan kprelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja.

2.    Lingkungan sekolah

Sekolah  merupakan lingkungan yang lebih luas daripada suatu keluarga dan merupakan suatu yang menjadi tantangan bahkan menimbulkan kecemasan bagi seorang anak. Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya, jadi sekolah juga memiliki potensi memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial temaja. Iklim sekolah yang kurang positif tentu akan menghambat perkembangan hubungan sosial remaja Iklim kehidupan sekolah yang konduksif dapat terlhat dari interaksi antara guru dengan siswa siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos keahlian guru yang ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga  dapat menjadi model bagi siswa yang tumbuh remaja.

Ada beberapa tahapan dari proses penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh seorang anak di lingkungan sekolah, yaitu anak dituntut untuk tidak merugikan orang lain serta menghargai dan menghormati hak orang lain, menaati peraturan dan menyesuaikan  diri dengan norma yang berlaku, melakukan interaksi berdasarkan asas saling memberi dan menerima serta seorang anak harus berusaha untuk memahami orang lain.

3.    Lingkungan masyarakat

Masyarakat memiliki sifat tidak konsisten dalam bersikap, terhadap remaja khususnya. Di satu sisi para remaja dianggap sudah  beranjak dewasa, tetapi kenyataannya disisi lain mereka tidak diberikan kesempatan atau peran penuh sebagaimana orang yang sudah dewasa. Situasi seperti ini membuat para remaja jengkel dan merasa kecewa dan hal ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sosial remaja.

Remaja merupakan seorang yang sedang mencari jati diri, maka dari itu  faktor keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan sosial remaja. Soetjipto Wirosardjono (1991) mengatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan hasil adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang sah maupun yang tak terelakkan. Hal ini sangatlah penting untuk diperhatikan, apalagi remaja senantiasa selalu ingin tahu dan memiliki rasa penasaran yang mendalam dengan trend yang berkembang dalam masyarakat agar mereka merasa dipandang trendy