Gerakan Mahasiswa Revolusioner:
Teori dan Praktek
Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan
sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah menjadikan
konsep menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang
revolusioner tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini
bukan pilihan yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini
dapat dibilang pelajaran yang paling berharga dari rekaman sejarah
yang diukir oleh revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa,
Amerika dan bagian dunia lainnya
Tradisi historis yang mengandung gagasan ini
dimulai dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan
ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha
yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi
sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi
pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan
tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak
dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak
dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal
lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal kekuatan sosial yang
harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari
gerakan pembebasan itu.
Sama seperti persatuan antara teori dan
praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan
pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa
revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang
mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong
yang menggerakkan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan
kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan
evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah
revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme
kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita akan coba melihat bahwa kedua konsep
itu, menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis
terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan
mahasiswa di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali dalam
aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya
sendiri.
Gerakan mahasiswa mulai bermunculan di
mana-mana dan di Amerika Serikat pun tidak berbedasebagai
perlawanan terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam
lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat
jelas di dunia Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya
sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan
keadaan lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas
untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke
universitas di dunia Barat tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi
keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan
perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas
kulit hitam di Amerika Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;
para buruh imigran yang dibayar rendah di Eropa
Barat juga termasuk di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan
negara-negara Barat, mahasiswa yang berasal dari lingkungan proletariat
yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat
ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima
gaji atau upah yang mendapat bayaran lumayan. Ketika
memasuki universitas mereka secara umum tidak disiapkan
oleh hidup yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman
yang jelas dan lengkap tentang alasan-alasan perlunya
perlawanan sosial. Mereka baru akan memahaminya ketika
berada di dalam kerangka universitas. Di sini aku tidak
mengacu kepada sejumlah perkecualian atau golongan kecil
elemen-elemen yang memiliki pengetahuan politik yang
memadai, tapi kepada massa mahasiswa secara keseluruhan yang
berhadapan dengan sejumlah kondisi, yang membimbing mereka pada jalan
perlawanan
Singkatnya, ini sudah mencakup
organisasi, struktur dan kurikulum universitas
yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material, sosial
dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin
tidak dapat ditahan oleh kebanyakan mahasiswa. Menarik untuk dicatat
bahwa para teoretisi dan pendidik borjuis yang berusaha memahami
perlawanan mahasiswa, harus memasukkan sejumlah pernyataan di
dalam analisis mereka terhadap lingkungan mahasiswa, yang telah
lama mereka enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa hari yang lalu, ketika berada
di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan
kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,
alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.
Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan
karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX.
Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di
universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan
kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan
mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka
habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang
non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar
borjuis ini sebagian telah menelusuri salah satu akar dari
perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis hanyalah
cerminan dari struktur hirarki yang umum dalam
masyarakat borjuis; keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa,
bahkan oleh tingkat kesadaran sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya
terlalu berlebihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis
dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga
di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti yang berkembang selama
generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen
di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang
diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk mempertanyakan
semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman
sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempelajari
cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa
sampai Perang Dunia II, wewenang paternal paling
sedikit dipertanyakan di negara itu. Kepatuhan anak
terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyarakat
(fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian
pengalaman pahit yang dimulai dengan adanya generasi orang
tua di Jerman yang menerima Nazisme, mendukung Perang
Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat"
(disebut juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan menghadapi
resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun dari dua
atau tiga generasi orang tua seperti itu kini menghasilkan rasa
jijik di kalangan anak muda terhadap wewenang orang tua
mereka. Perasaan ini membuat anak-anak tersebut, saat
memasuki universitas, tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu
saja, tanpa perlawanan.
Mereka pertama-tama berhadapan dengan
wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling
tidak dalam bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas.
Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif
tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat
lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah
yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi
pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universitas
masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa harus
mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound system. Mereka
tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau
sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.
Perumahan dan makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya
makin menajamkan kekuatan pemberontakan mahasiswa.
Tapi, perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan
pemberontakan akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah
dibenahi. Struktur otoriter dari universitas dan substansi
yang sangat lemah dari pendidikan, paling tidak dalam
bidang ilmu sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi
material di atas.
Inilah alasan mengapa usaha-usaha mengadakan
reformasi di universitas, yang disorongkan oleh sayap liberal
dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat
mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya
karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan mahasiswa.
Mereka tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan
mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa
makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti
yang diajukan oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam
kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk
meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan
ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis. Tuan-tuan
itu mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat
akademis; sayang sekali begitu banyak orang yang
meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat
pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan
ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita
akan membenahinya dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi
tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi
neo-kapitalis. Di tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan
lebih baik jika dikirim 100.000 insinyur daripada 50.000
orang sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat
pekerjaan yang layak. Hal seperti inilah yang akan menghentikan
pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan
fungsi universitas pada posisi subordinat terhadap kebutuhan
langsung dari ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat. Hal ini akan
menggerakkan keterasingan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi
itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universitas
dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan
tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang
mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan
mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan
bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa
masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan
dengan kebutuhan mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di
universitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku
tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam
universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah
universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan
transisional dalam gerakan sosial lain dalam sektor
apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"
tidak dapat diangkat di dalam lingkup universitas. Dalam
masyarakat luas slogan ini memang dihindari karena artinya
bahwa sebuah minoritas kecil menempatkan dirinya sebagai
pemimpin mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan
"student power" ini, atau slogan lain yang sejurus dengan ide
"self-management" oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan
valid.
Tapi di sinipun aku akan hati-hati karena
banyak persoalan yang membuat universitas berbeda dari
pabrik atau komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti
dikatakan sebagian teoretisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan
buruh. Kebanyakan mahasiswa memang akan menjadi buruh atau
sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan dengan orang
yang magang di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari
sudut kerja intelektual dengan orang magang di pabrik-- dari
sudut kerja manual. Mereka memiliki peranan sosal dan
tempat transisional yang khas dalam masyarakat. Karena itu
kita harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang
perdebatan ini sekarang. Mari kita terima saja gagasan
"student power" atau "student control" sebagai
slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas
bahwa realisasi slogan ini yang tidak akan mungkin bertahan untuk
jangka waktu yang lama, tidak akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa
karena mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan
dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengubah
sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal ini
universitas borjuis, dan berpikir bahwa masalah sosial
dapat diatasi di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial
dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka
terus akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun
kerja intelektual. Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing,
seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali lagi, ini bukan observasi teoretis
yang jatuh dari langit. Ini adalah pelajaran dari
pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya,
telah melalui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.
Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dengan
isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak
keluar batas-batas universitas. Gerakan itu mulai menanggapi
masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan
apa yang terjadi di dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di
mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat
oleh sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang
terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak di
kalangan elemen yang maju, yang paling peka terhadap
masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam
sistem kapitalis dunia.
Mereka terlibat dalam berbagai
aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan
revolusioner di negara-negara berkembang seperti Kuba,
Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainnya Dunia Ketiga.
Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan
mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan
pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar.
Ini mungkin kerangka pertama di mana diferensiasi politik yang
nyata terjadi di kalangan gerakan mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa
yang sama kemudian akan mengambil tempat di depan dalam
perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm melawan perang agresi
imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai
dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu
oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari
sebuah negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran
berkunjung ke Berlin.
Para mahasiswa pelopor tidak
sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan
perjuangan di Aljazair, Kuba dan Vietnam: mereka memperlihatkan
simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga
secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman,
Italia --dan proses yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan
mungkin memulai aksi yang revolusioner tanpa analisis teori
tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang
mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi
lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang
revolusioner menentang imperialisme.Melalui analisis tentang
kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang
paling maju dan terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme
dimulai, yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis
internasional di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami
sistem ini, kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya
perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan
dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri kepada
kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di Jerman misalnya, proses ini
terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa
dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter,
dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan
dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan
menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di
mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada
titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk
memahami alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan
perlawanan.
Kesatuan Teori dan Aksi
Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi
yang dinamis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi
tampil di depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik keharusan
perjuangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat
yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus
menyadari bahwa mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang
mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti
Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika
selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus
dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perdebatan di antara
orang-orang tuli, di mana sebagian pengunjung mengatakan, "yang
penting aksi! Tidak perlu yang lain, yang penting
aksi!" sementara di pihak lain ada yang
mengatakan, "Tidak, sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang
dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)
Jawaban yang jelas dari pengalaman sejarah
gerakan revolusioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari
periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan
(tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan
berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya
katakan sebelumnya, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa
sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah
yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui
aksi.
Setiap bentuk teori yang tidak diuji
melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya
menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang
pembebasan manusia. (tepuk tangan) Hanya melalui usaha terus
menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan
kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan
revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai
hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain
yang membuat saya tersentak, dan benar-benar menyentak karena
diajukan dalam satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan
teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu dimensi baru
dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak ada para
aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di pihak lain
adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi
demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau
menulis buku, dan dengan begitu maka ada elemen berharga
dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya katakan bahwa setiap pernyataan yang
menyebut adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam
gerakan revolusioner, yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan
elit yang kerja pikiran, secara mendasar bukan pernyataan
sosialis. Pernyataan itu bertentangan dengan salah satu tujuan
utama dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan
kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisasi tapi,
lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang sosialis
revolusioner pada 50 atau 100 tahun yang lalu belum
dapat melihat hal ini dengan jelas, seperti kita
sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk mencapai tujuan
itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan pendidikan yang
memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu pelajaran berharga yang
harus kita ambil dari kemunduran Revolusi Rusia, adalah jika
pemisahan antara kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan
pada masyarakat yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju
sosialisme dalam bentuk lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan
birokrasi dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan
manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa
mungkin setiap gagasan tentang pemisahan kerja manual dan kerja
pikiran dalam gerakan revolusioner. Kita harus bertahan bahwa
tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam aksi,
dan tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,
memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)
Gerakan mahasiswa Eropa telah
mencoba mencapai hal ini sampai tingkat tertentu di
Jerman, Prancis dan Italia. Di sana muncul pemimpin-pemimpin
mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan
bertempur mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel
bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan sosiolog terkemuka, ahli
politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam bidang ilmu
mereka sendiri. (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan
hanya tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa
ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di
bidang lain.
Perlunya Organisasi Revolusioner
Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain
dari kesatuan teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam
gerakan mahasiswa Eropa dan Amerika Utara. Saya secara
pribadi yakin bahwa tanpa organisasi yang revolusioner, bukan
suatu formasi yang longgar tapi sebuah organisasi yang
serius dan permanen sifatnya, maka kesatuan teori dan praktek
tidak akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada dua alasan. Yang pertama berhubungan
dengan asas dari mahasiswa sendiri. Status kemahasiswaan,
hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti
buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak
ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia
meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus ingin
menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemimpin
partai-partai komunis di Eropa yang menentang
perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa
mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menjadi
bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka
dengan serius."
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak
mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan
universitas sekarang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik,
maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan
universitas yang bisa menjadi kapitalis atau agen-agen
langsung dari para kapitalis ini. Apa yang mereka khawatirkan
mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu
hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi
sekarang ada satu juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak
mungkin kebanyakan dari mereka akan menjadi kapitalis
atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu
untuk mereka.
Argumen demagogis ini ada
benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki
konsekuensi tertentu terhadap tingkat kesadaran sosial dan
aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia tetap di universitas,
maka lingkungannya mendukung aktivitas politik. Ketika ia meninggalkan
universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah
ditekan oleh ideologi dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil
(petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam
lingkungan sosial yang baru ini, apapun bentuknya. Ada
kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual
reformis atau liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas
revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang
dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa revolusioner yang
paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan
Sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa
SDS yang militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan
tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang
militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi
aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari
sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas
revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas
jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di
mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih
penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai.
Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai
kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian
yang paling umum sekalipun. Sebagai Marxis, saya tetap
yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan mungkin
masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak
mungkin juga dibangun masyarakat sosialis. (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana
pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu Prancis
dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis
tersebut dalam praktek. Diskusi yang sama tentang
relevan atau tidaknya kelas buruh industri bagi aksi
revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di
negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah ini ditempatkan
dalam praktek bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama
Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan
buruh Fiat di Italia. Ini juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar
dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di
dalam agitasi mereka di luar universitas menentang perusahaan penerbit
Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang
darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman seperti ini mengajarkan
gerakan mahasiswa di Eropa Barat bahwa mereka harus
menemukan jembatan dengan kelas buruh industri. Masalah ini
memiliki sejumlah aspek yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula.
Ada masalah programatik yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang
diungkapkan di sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh,
bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu,
tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama
diuraikan masalah organisasi partai. Selain pengalaman kalah
beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan dalam
aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah
kecil buruh, setelah tiga sampai delapan bulan,
persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal,
dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka sedikit saja
yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen
adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan
perjuangan kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus.
Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas
waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara
kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis
revolusioner yang sama.Kita harus kritis melihat apakah
integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat
pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara
Eropa Barat lainnya, maka dengan mudah kita bisa bilang
ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan
alasan-alasan historis yang juga tidak dapat saya uraikan sekarang,
sebuah situasi khusus muncul di Amerika Serikat di mana mayoritas
kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis
tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu saja hal ini dengan cepat
dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat seperti itu
di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968.
Namun, bahkan di Amerika Serikat, ada minoritas dalam kelas
buruh industri yang penting, yaitu buruh kulit hitam.
Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa setelah dua tahun terakhir
mereka tidak dapat menerima gagasan sosialis atau tidak mampu
menjalankan aksi revolusioner. Di sini paling tidak ada kemungkinan
langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian
kalangan kelas buruh.
Sebagai tambahan, kiranya penting untuk menganalisa
kecenderungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan
mengguncang ketidakpedulian politik yang platen dan
konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan
lingkungan yang sangat mirip membuktikan bahwa hal itu
mungkin terjadi. Beberapa tahun lalu di kalangan kelas buruh di
Jerman mengendap stabilitas, konservatisme, dan integrasi
masyarakat kapitalis yang tidak terguncang, sama seperti
Amerika Serikat di mata banyak orang sekarang ini. Hal ini
sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam
perimbangan kekuatan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari
pengusaha terhadap struktur serikat buruh tradisional dan hak-hak
dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi
informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian
sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung
dengan buruh. Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian
banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas
revolusioner dapat menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti
ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa Barat tapi juga oleh Jepang.
Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh.
Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terakhir
yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem pendidikan
borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari
buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang
telah berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis
sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang kehancuran
total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam yang tingkat
penganggurannya sama tinggi seperti tingkat rata-rata
pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini
memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit
hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte
kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda.
Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas
menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum muda. Para
penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak membeda-bedakan antara
mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai
musuh.Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins
ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah
dibunuh oleh polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk
dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas
orang-orang yang lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30
tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak, sebagai
orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)
Jika kalian secara seksama
membaca buku-buku sekarang, industri film dan
bentuk-bentuk refleksi kenyataan sosial yang lain di dalam
suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir, kalian akan
lihat bahwa di samping semua pembicaraan yang palsu tentang
kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis pemuda yang
dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum
muda. Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok
minoritas seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat.
Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada
lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada
kesadaran sosialis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya
penting bagi negeri-negeri Barat selama sepuluh
sampai limabelas tahun mendatang. Jika kita berhasil
mengangkat kaum muda yang terbaik menjadi sosialis
revolusioner --saya pikir ini sudah mulai dilakukan di
negeri-negeri Eropa Barat-- kita bisa yakin tentang kemajuan
gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas dan kebanyakan orang
muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka kita akan kalah dalam
perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang kubur
bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan teori dan praktek juga berarti
bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis
dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu
bahwa sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Amerika Serikat
ingin menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Aku
sepenuh hati setuju dengan setiap usulan yang menginginkan sesuatu
yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh
generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari
sudut pandang pembangunan masyarakat sosialis. Tapi
penting juga aku utarakan peringatan. Jika kalian menyangka sedang
menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya sedang dilakukan
adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari
masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan
mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi
populer di kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah
sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari
evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam
jalur para pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari
kalian suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku bagi ilmu
sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya diciptakan di
masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan kecenderungan baru,
kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil terbaik dari
generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa
menciptakan sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal
dari radikalisme mahasiswa. Ketika gerakan sudah
berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang
besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para
sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa
mahasiswa revolusioner yang luas berjuang menemukan kembali
tradisi sejarah dan akar-akar historis mereka. Mereka seharusnya
sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan: perjuangan kami
adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150
tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika
budak-budak pertama memberontak terhadap tuannya. Ini akan
jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama
sekali baru yang terputus dari sejarah dan terisolasi dari
keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak pernah mengajarkan
apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari dari itu.
(tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis
mahasiswa kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan
Marxisme. Kita telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis,
Jerman, Italia dan sekarang Inggris kembali kepada
gagasan-gagasan revolusi sosialis dan demokrasi buruh. Bagi
seseorang seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana
gerakan revolusioner Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara,
dan menghubungkannya dengan tradisi terbaik dari
sosialisme. Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali
tradisi internasionalisme dari sosialisme lama dan Marxisme ketika
kalian bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan
bahwa gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah
internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti
internasionalisme dari sosialisme, sama seperti internasionalisme
dari kelas buruh. Masalah-masalah internasional yang
dihadapi adalah masalah solidaritas dengan kawan-kawan kita
di Meksiko, Argentina dan Brasil yang memimpin perjuangan besar,
yang mengangkat revolusi Amerika Latin ke tingkat
lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena kepemimpinan yang
buruh, reaksi internal dan represi imperialis selama tahun-tahun
belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan mahasiswa-mahasiswa
Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi
politik secara mendasar di negeri itu dan membuang topeng demokrasi palsu
yang dipasang pemerintah Mexico untuk menerima jutaan dolar
dari penonton-penonton Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton
Olimpiade akan tahu bahwa ia telah mengunjungi negeri di mana para
pemimpin serikat buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun
setelah masa tahanan mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin
politik kalangan kiri dipenjara bertahun-tahun tanpa
pengadilan, di mana pemimpin mahasiswa dan ribuan
milisi mahasiswa ditahan di penjara tanpa landasan hukum.
Protes mereka yang heroik memiliki konsekuensi bagi masa depan
politik Meksiko dan perjuangan kelas di negeri itu. (tepuk tangan)
Penting juga kiranya mengutarakan beberapa
patah kata tentang mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi
kolonial lainnya, yang tidak pernah dibicarakan orang, seperti
pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena
mengorganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika
wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa
pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan
alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita
harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan
terlupakan.
Akhirnya, kita
tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi Amerika Serikat di
Vietnam, yang tetap menjadi perjuangan utama di dunia
sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu di Paris, tidak
berarti bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk
membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya mengajak
kalian ikut dalam aksi dunia yang dimulai oleh gerakan mahasiswa
Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa Revolusioner Inggris bersama
dengan Kampanye Solidaritas Vietnam, dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di
sini. Ini adalah Minggu Solidaritas untuk revolusi Vietnam, dari
tanggal 21 sampai 27 Oktober. Minggu ini ratusan ribu
mahasiswa, buruh muda dan revolusioner muda akan turun ke
jalan bersamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diajukan
kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia bahwa di Amerika
Serikat ada ratusan ribu orang yang menginginkan
penarikan kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu pasti
akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)
* * *